Mereka sama sekali tidak menyadari kalau ada beberapa orang yang menyaksikan mereka dari jauh.
Yang Myeong kelihatan sangat sedih dan terpukul melihat Yeon Woo dan Hwo.
Bukan hanya Yang Myeong, tapi Bo Kyung rupanya juga melihat mereka. Ia menangis.
"Jadi... Namamu adalah Yeon Woo." ujar Hwon. "Apa artinya adalah gerimis?"
"Ya, begitulah artinya dalam bahasa Cina." ujar Yeon Woo.
"Bisa juga diartikan embun." ujar Hwon. "Nama yang sangat indah."
Yeon Woo tersenyum.
"Maafkan kelancanganku, tapi apa arti dari nama Hwon?"
"Arti namaku adalah matahari." jawab Hwon. "Kenapa sebelumnya kau menghindariku? Apa kau tidak menyukaiku?"
"Bukan begitu!" jawab Yeon Woo cepat.
Hwon senang mendengarnya. "Jadi kau menyukaiku!" serunya.
Yeon Woo langsung menunduk malu.
"Tapi kenapa kau menolak menemuiku dan membuatku mengambil resiko?" tanya Hwon lagi.
Yeon Woo hanya menunduk diam.
"Kau masih tidak mau menjawab, hah?" tanya Hwon.
"Apa Putra Mahkota sudah memiliki seseorang di hati?" tanya Yeon Woo malu.
"Apa maksudmu?" tanya Hwon bingung.
"Belum lama ini, aku mendengar kalau Putra Mahkota menemui putri seorang pejabat."
"Itu
semua karena kau!" seru Hwon kesal. "Jika kau tidak berbohong, kasimku
tidak akan menjemput orang yang salah dan menyebabkan kesalahpahaman!"
Wajah Yeon Woo langsung bersinar. "Jadi..."
Hwon terdiam, menatap Yeon Woo tajam.
"Tunggu sebentar." ujar Hwon. "Jangan bilang kalau kau..."
"Apa?" tanya Yeon Woo bingung.
Hwon mendekatkan kepalanya pada Yeon Woo. "Apa kau cemburu karena aku menemui gadis itu?" tanyanya.
"Apa?" seru Yeon Woo cepat, buru-buru memalingkan wajahnya dari Hwon. "Tentu saja tidak."
Hwon
tertawa. "Bagus sekali kalau seorang gadis merasakan cemburu di
hatinya. Seseorang yang akan menjadi pendampingku suatu saat nanti bisa
juga cemburu."
"Sudah kubilang aku tidak..." ucapan Yeon Woo terpotong. "Apa?"
Hwon tersenyum melihat wajah terkejut Yeon Woo.
"Beberapa
hari lagi akan ada ujian istana." kata Hwon. "Ujian itu dilaksanakan
untuk memilih calon pendamping bagi Putra Mahkota. Kemungkinan kau akan
dipilih sebagai kandidat. Aku akan menunggu. Aku yakin kau bisa menjadi
Putri Mahkota."
Yeon Woo terlihat cerah begitu mendengar ucapan Hwon.
Hwon tersenyum.
Kelopak bunga sudah tidak bertaburan lagi.
Hwon terlihat kesal, kemudian berdeham.
Dari atas atap bangunan, kasim terbangun. Rupanya ia ketiduran.
Kasim Hyeong Sun langsung menebarkan kelopak bunga lagi.
Gokil abis.
Hwon
sangat bahagia karena pertemuannya dengan Yeon Woo tadi malam. Ia
terus-terusan nyengir-nyengir sendiri sambil menatap tanaman pemberian
Yeon Woo.
"Aku tahu Putra Mahkota pasti akan menginginkan tanaman itu lagi." ujar Kasim. "Karena itulah aku tidak pernah membuangnya."
"Yeon Woo punya alasan memberiku selada ini." ujar Hwon. "Kau tidak tahu alasannya kan?"
Kasim tersenyum. "Alasannya adalah untuk menyampaikan harapan rakyat." jawabnya.
Hwon terkejut dan menoleh menatap kasimnya.
"Setiap
hari Putra Mahkota selalu menunggu akan tumbuh menjadi apa tanaman
tersebut." ujarnya. "Sama halnya ketika para petani dan rakyat jelata
menunggu sayuran mereka tumbuh. Konon selada dipercaya sebagai obat.
Mulanya mungkin Anda akan lelah karena menunggu, namun jika sudah
tumbuh, selada bisa digunakan untuk mengembalikan tenaga. Selada juga
dapat meningkatkan kepandaian seseorang dan menurunkan demam. Saat itu,
Putra Mahkota tidak menyukai Guru Heo. Nona Yeon Woo ingin menyampaikan
agar Anda tidak lagi mempermasalahkan hal itu dan konsentrasi
belajar."
Hwon melongo mendengar penjelasan kasim yang panjang lebar.
"Kau juga kagum apda kebijaksanaan Yeon Woo bukan?" tanya Hwon. "Tunggu dan lihat saja. Dia akan menjadi Ratu negeri ini!"
Di kota, pihak istana menyebar pengumuman bahwa akan diadakan kontes pemilihan Putri Mahkota.
Yang Myung, yang saat itu sedang berjalan-jalan di kota, terkejut membaca pengumuman itu.
Hari itu, Hwon pergi belajar dengan sangat bersemangat.
Ketika pelajaran berakhir, Hwon bertanya pada Yeom, "Apakah Yeon Woo sudah mendaftar untuk ujian?"
"Belum." jawab Yeom dengan ekspresi wajah tidak suka.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Hwon.
Yeom langsung bersujud di hadapan Hwon.
"Putra
Mahkota, mohon kabulkan permintaan hambamu ini." kata Yeom. "Dari
sekian banyak gadis di Joseon, ia pasti akan menjadi salah satu yang
terpilih. Tapi, bisakah adikku jangan dipilih? Hamba memohon pada Anda,
Putra Mahkota."
Hwon terkejut. "Kenapa kau memohon seperti ini?"
Yeom terdiam sesaat. "Putra Mahkota dan adikku tidak mungkin bisa bersama." jawabnya.
"Aku dan Yeon Woo tidak bisa bersama?!" tanya Hwon kaget.
"Aku akan menerima hukuman apapun dari Anda, tapi..."
"Apa
kau ingin menjadi pemberontak dengan membangkang perintah Raja?" tanya
Hwon mengancam. "Aku tidak bisa melakukannya. Alasanku yang pertama
adalah karena aku tidak ingin kehilanganmu. Alasan yang kedua adalah
karena aku..."
Yeom menunggu lanjutan perkataan Hwon, namun Hwon hanya diam.
"Aku... menyukaimu!" seru Hwon. Ia sengaja berbohong karena malu mengatakan kalau ia menyukai Yeon Woo.
Kasim, dayang dan para pengawal di luar mendengar perkataan Hwon dengan kaget.
Yeom melongo.
Hwon
malu mendengar perkataannya sendiri. Ia menutupi wajahnya dan berjalan
pergi dengan cepat, meninggalkan Yeom yang masih terbengong-bengong.
Kasim berusaha menjelaskan pada dayang dan pengawal yang mendengar bahwa yang disukai Hwon bukanlah Yeom.
Kasim
juga masuk ke dalam ruangan dan menjelaskan pada Yeom bahwa ia salah
paham. Yang disukai Hwon bukan Yeom, melainkan seseorang yang mirip
dengan Yeom.
Yeom hanya diam dan masih melongo.
Hwon pusing dengan ulahnya sendiri.
Alasan Hwon tidak mau mengakui perasaannya adalah karena ia belum bicara pada Yeon Woo.
"Aku
belum mengatakannya pada Yeon Woo, mana mungkin aku mengatakannya pada
orang lain terlebih dahulu?" ujar Hwon pada kasimnya.
"Bagaimana mungkin Guru Heo membuat permohonan seperti itu?" tanya Hwon kesal.
Kasim menarik napas panjang. "Anda benar-benar tidak tahu alasannya?" tanyanya.
Hwon mendengus. "Ia merasa kalau aku tidak pantas untuk adiknya."
"Maafkan aku, tapi bukan itu maksud Guru Heo." ujar Kasim.
"Apa maksudmu?"
Ayah
dan Ibu Yeon Woo sangat mengkhawatirkan putri mereka. Jika Yeon Woo
menjadi salah satu dari tiga besar, maka ia akan tetap menjadi wanita
milik Putra Mahkota dan tidak bisa menikah dengan pria lain. Pemenang
akan menjadi Putri Mahkota, namun dua gadis yang tidak menang tidak
dinikahi oleh Putra Mahkota dan juga tidak bisa menikah dengan pria
lain. Sebagai informasi, Ibu Yang
Myeong adalah salah satu dari wanita tiga besar yang tidak menjadi Putri
Mahkota. Namun karena ia berhasil mendapat perhatian Raja, ia dibawa
ke istana dan menjadi selir. Para wanita yang lainnya terlupakan begitu
saja.
Diam-diam, Yeon Woo mendengar semua percakapan mereka.
Hwon
tahu kalau Ibu Suri pasti menginginkan keluarganya, yakni Bo Kyung,
yang menjadi Putri Mahkota. Karena itulah ia pergi menemui ayahnya.
Ketika Hwon sedang berada di dalam ruangan Raja, Yang Myung datang dan ingin menemui Raja juga.
Hwon bersujud di hadapan ayahnya.
"Ananda ingin memohon pada Yang Mulia menyangkut pemilihan Putri Mahkota." ujar Hwon.
"Yang menangani pemilihan ini bukan aku, tapi Ibu Suri." ujar Raja.
"Yang Mulia, tolong berikan perintah agar pemilihan Putri Mahkota dilakukan dengan persyaratan ketat." ujar Hwon.
"Aku tidak bisa melakukan apapun." tolak Raja. "Lebih baik kau pergi menemui Ibu Suri untuk membicarakan masalah ini."
Hwon
berusaha membujuk ayahnya, namun ayahnya terus mengatakan bahwa ia
tidak berhak ikut campur tangan. Akhirnya Hwon meminta hal yang paling
sederhana dari Raja, yakni membuat agar pemilihan Putri Mahkota ini
berjalan dengan adil.
Sekembalinya
dari ruangan Raja, Hwon memerintahkan kasimnya untuk mengamati keadaan
akademi. Kelihatannya ia punya rencana tertentu.
Setelah
Hwon keluar, Yang Myeong masuk ke ruangan Raja. Ia menagih janji Raja
untuk menikahkan ia dengan Yeon Woo segera setelah pemilihan Putri
Mahkota selesai.
"Aku tidak pernah menjanjikan hal itu padamu." ujar
Raja. "Aku hanya mengatakan bahwa aku akan mempertimbangkan
permintaanmu. Jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan, cepat pergi."
Yang Myeong kelihatan sangat terpukul dan sedih mendengar pernyataan ayahnya itu.
"Apakah
ini karena permintaan Putra Mahkota?" tanya Yang Myeong. "Jangan
katakan bahwa ia punya permintaan yang sama denganku. Ia hanya seorang
anak pejabat. Apakah kau kira ia bisa menjadi Ratu?"
"Jika ia lolos, maka semuanya mungkin." jawab Raja.
"Jika ia tereliminasi dalam pemilihan, maukah kau memberikan dia padaku?" pinta Yang Myeong.
"Gadis yang masuk tiga besar adalah juga milik Putra Mahkota." ujar Raja. "Apa kau lupa peraturan ini?!"
"Jadi
kau ingin melihat gadis yang kucintai terpuruk?" tanya Yang Myeong
penuh emosi. "Semua orang sudah tahu kalau putri pejabat Yoon-lah yang
akan terpilih menjadi Putri Mahkota!" seru Yang Myeong. "Kau pikir aku
hanya akan berdiam diri melihat semuanya?"
"Apakah aku harus
menghukummu agar kau berhenti bicara?!" bentak Raja. "Jika kau terus
bersikeras, maka ini sama halnya dengan... pemberontakan."
Yang Myeong keluar dari ruangan Raja dengan kecewa sekaligus sedih.
Yang Myeong berdiri menatap halaman istana, teringat masa kecilnya dengan Hwon.
"Jangan
tertawa!" seru Yang Myeong, melihat Hwon kecil yang selalu tersenyum
dan tertawa senang bila bersamanya. "Kau selalu bisa mendapatkan semua
yang kuinginkan dengan mudah, selalu bisa memiliki semua orang yang
kuinginkan. Tolong berhenti tersenyum seperti itu agar aku bisa
membencimu. Jika kau tidak bisa melakukannya, tolong lenyapkan kesedihan
dan ambisi yang besar dari dalam hatiku."
Raja pusing dengan permasalahan Yang Myeong dan Hwon. Ia bangkit hendak melihat tawa putrinya.
Di saat yang sama, Min Hwa sedang mengintip Yeom.
Yeom juga sedang pusing memikirkan Yeon Woo. Saking pusingnya, ia bahkan tidak sadar kalau ia melewati Min Hwa.
Min Hwa kesal dan langsung menghadang jalan Yeom.
Yeom terkejut melihat Min Hwa. "Maaf!" katanya. "Hamba sedang memikirkan sesuatu jadi tidak melihat..."
Min Hwa menyerahkan gelang buatannya pada Yeom.
Yeom menerimanya.
"Apa kau sudah menikah?" tanya Min Hwa.
"Hamba belum menikah." jawab Yeom.
Min Hwa bersorak senang. "Lalu apa kau sudah punya calon istri?"
"Hamba belum memiliki calon istri." jawab Yeom lagi.
Min Hwa melompat-lompat kegirangan. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh Yeom.
Yeom kebingungan melihat tingkah Min Hwa. Ia tersenyum.
"Cantik sekali." gumam Min Hwa spontan. Karena merasa malu atas ucapannya, ia berjalan kabur.
Min Hwa berpapasan dengan Raja. Dengan gaya sok dewasa, ia kemudian mengundang Raja ke ruangannya.
Min Hwa mengatakan pada Raja kalau ia ingin menikah dengan Yeom.
Raja tambah pusing akan tingkah anak-anaknya.
"Tidak." jawab Raja cepat.
"Tidak? Kenapa?!" tanya Min Hwa.
"Ia
adalah orang yang sangat jenius yang jarang ditemukan walau dalam
waktu ribuan tahun." kata Raja. "Ia akan menjadi pilar negara."
"Karena itulah ia tidak bisa menjadi suami Putri Raja?" tanya Min Hwa.
"Jika
ia menjadi suamimu, ia tidak akan bisa menduduki posisi di
pemerintahan." kata Raja. "Ia juga tidak bisa terlibat dalam politik.
Aku tidak bisa membiarkan orang yang sangat berbakat seperti dia menjadi
suamimu."
"Kalau begitu, aku hanya bisa menikahi seseorang yang jelek dan bodoh?" tanya Min Hwa shock.
"Bukan begitu." kata Raja. "Hanya Guru Heo-lah yang tidak bisa kau nikahi."
Namun Min Hwa tidak mau mendengar perkataan Raja lagi. Ia menangis keras. "Aku hanya ingin menikahi orang itu!" tangisnya.
"Kubilang tidak!" seru Raja tegas.
Malam itu, Yeom berkunjung ke rumah Seol. Tanpa sengaja, Yeom melihat ketika gadis itu sedang berlatih beladiri.
"Kemampuan pedangmu lumayan." ujar Yeom.
Seol menunduk ketakutan karena ketahuan belajar pedang. "Maafkan aku, Tuan muda." katanya. "Untuk apa Anda datang kemari?"
"Aku
ingin menanyakan sesuatu." ujar Yeom. Ia meminta Seol memandangnya.
"Jika ada seseorang yang mirip aku, siapa menurutmu yang mungkin?"
"Nona Yeon Woo." jawab Seol cepat tanpa banyak berpikir.
"Sesuai
perkiraanku." gumam Yeom. "Tapi mereka belum pernah bertemu
sebelumnya. Bagaimana mereka bisa saling mengenal? Kapan dan dimana?"
Karena penasaran, Yeom bertanya langsung pada Yeon Woo.
Yeon Woo menceritakan semuanya pada kakaknya itu.
"Apa kau merasakan hal yang sama dengan Putra Mahkota?" tanya Yeom, cemas.
Yeon Woo menunduk dan diam sejenak, kemudian menjawab, "Aku tahu yang kakak cemaskan, tapi..."
"Apa kau tahu kalau Putri Mahkota sudah ditetapkan?" tanya Yeom waswas. "Keputusannya sudah ada."
"Aku tahu." jawab Yeon Woo.
"Katakan pada mereka bahwa kau punya penyakit." ujar Yeom. "Hindari pemilihan itu."
"Aku tidak bisa melakukannya." tolak Yeon Woo. "Aku tidak bisa mundur. Aku tidak bisa membohongi Putra Mahkota."
Yeom Woo menarik napas panjang, menandakan kalau ia menyerah untuk membujuk adiknya.
Hwon
memerintahkan anak buahnya untuk membawa pemimpin Perkumpulan
Mahasiswa Akademi ke hadapannya. Pemimpin tersebut ternama Hong Gyu
Tae.
"Sejak aku diberi gelar Putra Mahkota, aku juga diperintahkan
untuk belajar di Akademi." kata Hwon. "Belajar pada orang pandai
sepertimu adalah suatu kehormatan bagiku. Namun sekarang, belajar di
akademi adalah hal yang memalukan."
"Apa?" Gyu Tae terkejut.
"Kau
harus memanfaatkan hasil belajarmu untuk membantu Raja dengan jalan
yang benar." ujar Hwon. "Itulah tugasmu sebagai perjabat negara."
"Maaf jika tebakanku salah, tapi apa maksud Anda ini menyangkit pemilihan Putri Mahkota?" tanya Gyu Tae.
"Pemilihan Putri Mahkota tidak boleh dijadikan ajang untuk memperoleh kekuasaan keluarga." ujar Hwon.
Ibu
Suri merasa sangat yakin kalau pemilihan Putri Mahkota ini sepenuhnya
ada di tangannya. Namun jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, ia
harus menyiapkan serangan balasan.
"Anda bisa melenyapkan matahari
dengan mudah." ujar Dae Hyeong. "Bagaimana mungkin melenyapkan bulan
menjadi sulit? Ditambah lagi, Pemimpin Balai Samawi adalah bawahan Ibu
Suri. Apa lagi yang kau takutkan?"
Ibu Suri tersenyum.
Gyu Tae memimpin para mahasiswa Akademi untuk membuat petisi pada kerajaan agar mengadakan pemilihan Putri Mahkota dengan adil.
"Demostrasi
ini direncanakan langsung oleh Putra Mahkota." pikir Gyu Tae,
tersenyum. "Masa depan Joseon akan menjadi sangat menarik."
Raja membaca surat petisi dari para mahasiswa.
"Semua
mahkluk, terutama manusia, bisa menemukan posisi yang paling tepat dan
cocok untuk mereka. Inilah yang aku rencanakan jika aku menduduki
monarki. Aku ingin memulai semuanya dari Pemilihan Putri Mahkota." Raja
teringat Hwon berkata padanya kemarin.
"Apa kau percaya bahwa pendapatmu benar?" tanya Raja.
"Ya." Hwon menjawab tanpa ragu.
"Kalau begitu tunjukkan padaku." kata Raja. "Inilah yang dinamakan politik."
Raja tersenyum.
"Menggunakan pengaruh Akademi untuk memperoleh perhatian masyarakat?" pikirnya. "Menarik sekali, Putra Mahkota."
Lima hari berlalu dan para mahasiswa masih saja melakukan demonstasi di depan istana.
Para pejabat menuntut Raja agar memberi jawaban akan petisi para mahasiswa tersebut.
Ada pejabat yang pro dan yang kontra menanggapi petisi mahasiswa.
"Sudah sejak dulu pemilihan Putri Mahkota selalu dipegang oleh ibu suri." ujar Prjabat yang kontra.
"Aku setuju! Orang yang memimpin demonstrasi ini harus dihukum!" ujar pejabat yang lain.
"Mereka
melakukan itu karena cemas pada kondisi negara dan tanpa keegoisan."
kata Young Jae, membela mahasiswa. "Bagaimana mungkin kalian mengatakan
bahwa tindakan mereka salah? Lihatlah dulu opini masyarakat untuk
mendapatkan jawaban yang tepat."
Raja berpikir dan akhirnya
memutuskan, "Pemilihan Putri Mahkota sekarang berbeda dengan pemilihan
yang lalu. Ibu Suri tidak akan memegang tanggung jawab. Aku sendiri yang
akan memegang pemilihan tersebut."
Seorang pejabat menjawab petisi para mahasiswa.
Gyu Tae tersenyum puas mendengar titah tersebut.
Ibu Suri langsung menemui Raja untuk protes.
"Aku membuat pilihan pada seorang gadis bukan karena ia masih anggota keluarga." ujar Ibu Suri.
Raja
tersenyum. "Jika begitu, merubah proses pemilihan tentu tidak akan
menjadi masalah." katanya. "Jika gadis itu memang hebat, ia pasti akan
tetap terpilih. Bukankah begitu?"
"Jadi kau menolak permintaanku?" tanya Ibu Suri dengan marah.
Apapun yang dikatakan Ibu Suri tidak akan bisa mengubah keputusan Raja.
Ibu
Suri benar-benar marah. "Siapa yang melindungi tahtamu ketika para
pejabat menentangmu? Aku harap kau tidak lupa kalau tahtamu itu adalah
atas usahaku dan clanku."
"Aku tidak akan lupa." jawab Raja. "Mana mungkin aku lupa?"
Raja teringat ketika Uiseong dibunuh.
"Demi
kekuasaan dan kekayaan clanmu, Ibu Suri dan Yoon Dae Hyeong melakukan
tindakan kejam." ujar Raja tajam. "Karena itulah Pangeran Uiseong
terbunuh secara tidak adil."
Ibu Suri terkejut. "Jika kau tahu,
seharusnya kau tidak memperlakukan aku seperti ini." katanya dengan
suara bergetar. "Karena aku, tangan Yang Mulia tidak kotor sedikitpun
oleh darah."
"Kau pikir apa alasanku tetap diam?!" seru Raja. "Aku
diam selama 13 tahun agar tetap taat pada Ibu Suri! Karena itulah,
tolong jangan membuat permintaan egois lagi. Pemilihan Putri Mahkota
akan dilakukan secara adil."
Mata Ibu Suri berkaca-kaca karena marah.
Yeon Woo diajari oleh ibunya. segala sesuatu berkaitan tentang tata krama.
Ibunya kelihatan sangat cemas, karena itulah Yeon Woo berusaha menenangkannya.
"Jangan
cemas, Ibu." ujar Yeon Woo. "Apapun hasilnya nanti, aku tetap ingin
menjadi putri yang bisa membanggakan Ayah dan Ibu. Jadi, lihat saja aku,
Ibu."
Dengan mata berkaca-kaca, ibunya memeluk Yeon Woo.
Pemilihan Putri Mahkota akan dimulai.
Yeon Woo berhasil lolos dalam putaran final.
Malam itu, Yang Myeong menemui Yeon Woo untuk pamit.
"Setelah
menetap disini beberapa hari, aku ingin melakukan perjalanan lagi."
kata Yang Myeong. "Aku datang karena ingin melihatmu dulu sebelum
pergi."
Yang Myeong mendekatkan kepalanya pada Yeon Woo agar bisa melihat wajah gadis itu lebih jelas.
"Wajah yang jelek." ledek Yang Myeong. "Karena aku sudah melihat, aku akan pergi sekarang."
"Apa kau akan kembali?" tanya Yeon Woo.
"Kenapa?" tanya Yang Myeong. "Apa kau takut aku tidak kembali?"
"Itu
karena kau biasanya tidak membiarkan orang menemukanmu dalam waktu
tertentu." jawab Yeon Woo. "Semua orang akan khawatir. Jika kau pergi,
paling tidak berilah kabar..."
"Apa
kau mau pergi denganku?" tanya Yang Myeong. "Walaupun kau pergi, masih
ada putri Pejabat Yoon yang akan menjadi Putri Mahkota. Jika kau
menempati urutan tiga besar, kau masih bisa menjadi selir. Jika tidak,
maka kau tidak akan bisa menikah dan akan hidup sendirian sepanjang sisa
hidupmu. Jika kau ingin mau, aku akan meninggalkan gelar Pangeran dan
membawamu pergi jauh."
"Jika ini lelucon, maka ini sama sekali tidak lucu." kata Yeon Woo.
Yang Myeong tertawa. "Ya, ini tidak lucu." katanya. "Tidakkah kau menyesal akan keputusanmu ini? Walau hanya sedikit?"
"Ya." jawab Yeon Woo.
"Jangan berpikir terlalu banyak." ujar Yang Myeong. "Kau pasti bisa mengalahkan semua sainganmu dengan mudah."
Yang Myeong menyentil kening Yeon Woo dan berjalan pergi.
Yang Myeong melompat keluar dari rumah Yeon Woo. Disana, Woon sudah menunggu.
Yang Myeong bercakap-cakap dengan Woon. Ia mengatakan bahwa ia pernah membaca sebuah buku mengenai Confucius.
"Jika seorang ayah memukul anaknya tanpa alasan, maka kau harus melarikan diri." ujar Yang Myeong.
"Jadi kau berniat pergi?" tanya Woon.
"Sebuah
pohon berniat menetap, namun angit terus-menerus berhembus dengan
kencang. Apalagi yang bisa kulakukan? Lebih baik menghindar daripada
rusak atau ditebang."
Yang Myeong tersenyum dan mendongak menatap
bulan. "Tapi bulan itu... Tak peduli kemanapun aku pergi, ia akan tetap
mengikutiku."
Raja menguji tiga gadis yang masuk putaran final. Mereka adalah Yeon Woo, Bo Kyung dan salah seorang gadis lagi.
"Aku adalah Raja Joseon." ujar Raja. "Jika kalian menilaiku dalam uang, menurut kalian, berapa hargaku?"
Raja
meminta gadis pertama menjawab. Namun gadis itu kebingungan. "Maafkan
Saya. Saya tidak tahu berapa banyak Yang Mulia dihargai dalam uang."
Raja
meminta Bo Kyung menjawab. "Harga Yang Mulia lebih tinggi dari Gunung
Tai dan lebih luas dari laut. Mohon maaf, tapi tunggulah sampai ada
alat yang bisa digunakan untuk mengukut luasnya langit dan dalamnya
lautan. Jika alat itu sudah ada, Yang Mulia boleh bertanya lagi."
Ibu Suri tersenyum puas mendengar jawaban Bo Kyung.
Raja meminta Yeon Woo menjawab. "Jika Yang Mulia meminta, maka saya akan menjawab." katanya. "1 yang."
Raja terkejut.
Ibu Suri tersenyum merendahkan.
Pada saat yang sama, Hwon sedang belajar memanah.
Mendadak, kasimnya datang terengah-engah.
"Ada apa?" tanya Hwon cemas.
Di sisi lain, Yeon Woo berhasil terpilih menjadi Putri Mahkota.
"Bagi
rakyat miskin, tidak ada hal yang lebih berharga daripada uang 1
yang." Raja teringat jawaban Yeon Woo. "Orang yang memiliki 10.000 yang
tidak menganggap kalau 1 yang itu berharga. Bagi rakyat miskin, Yang
Mulia adalah 1 yang mereka yang sangat berharga. Semua kebijakan Yang
Mulia adalah demi kebaikan rakyat jelata."
"Menantu yang seperti ini jarang ditemui." kata Raja, memuji Yeon Woo.
Ratu tersenyum. "Benar, Yang Mulia."
Semua orang senang melihat Yeon Woo, kecuali Ibu Suri.
"Ayah
dan Kakakmu sangat pintar dan cemerlang." ujar Raja. "Dan ayahmu
memiliki putri yang cantik dan bijaksana sepertimu. Ini adalah sauatu
anugerah bagi negara."
Raja berpaling pada Ibu Suri. "Ibu, mohon beri wejangan untuk Putri Mahkota."
Ibu Suri menatap Yeon Woo.
"Apa yang bisa dikatakan seorang wanita tua sepertiku?" ujar Ibu Suri. "Tolong mengabdilah pada Putra Mahkota dengan tulus."
"Hamba akan mengingat perkataan Ibu Suri di dalam hati." jawab Yeon Woo.
Min Hwa terus-menerus berbaring di ranjangnya dan menolak makan.
Ia menangis dan memohon pada ibu dan neneknya agar menjadikan Yeom suaminya.
Ibu Suri terus berpikir dan berpikir. Mendadak, ia menemukan ide.
Di
sisi lain, Nok Young merasakan kalau akan terjadi hal yang buruk.
Benar saja, malam itu ia dipanggil oleh Ibu Suri ke paviliunnya.
Yeon Woo ditempatkan di sebuah paviliun yang indah.
Sebelum meninggalkan Yeon Woo agar beristirahat, dayang memberikan sebuah saputangan.
"Anda akan membutuhkan saputangan ini." ujar dayang.
Setelah semua dayang pergi, Yeon Woo merasa kesepian di ruangan yang luas itu. Ia teringat ibunya dan menangis.
Yeon Woo melihat saputangan yang ditinggalkan dayangnya.
"Mungkin untuk inilah saputangan ini." gumam Yeon Woo.
Ia menangis keras dan menutupi wajahnya dengan saputangan.
Mendadak, dalam saputangan tertulis sesuatu.
"Apakah kau menangis karena meninggalkan keluargamu?" tanya Hwon dalam suratnya. "Jika ia, bukalah jendela dan lihat keluar."
Yeon Woo berjalan menuju jendela dan membukanya.
Di luar, Hwon sudah berdiri menunggu.
"Putra Mahkota!" seru Yeon Woo terkejut.
"Apa aku membuatmu terkejut?" tanya Hwon, tersenyum.
"Bukankah kau dilarang masuk ke sini?" tanya Yeon Woo.
"Aku menyogok seseorang." kata Hwon.
Yeon Woo kesal dan menutup jendela.
"Tunggu dulu, Yeon Woo!" teriak Hwon.
"Kembalilah!" ujar Yeon Woo dari balik jendela. "Putra Mahkota akan menjadi contoh bagi rakyat dan menjadi pondasi..."
Tidak ada suara lagi dari luar.
Yeon Woo mengintip dan membuka jendela. Hwon sudah tidak ada disana.
Dengan kecewa, Yeon Woo berlari keluar.
Yeon Woo snagat terkejut karena di luar sudah ada dua buah kursi. Para dayang dan kasim juga ada disana.
"Apa kau sudah selesai menangis?" tanya Hwon. "Aku mendapat izin khusus dari Yang Mulia. Jadi jangan khawatir."
"Karena malam ini kita tidak bisa tidur, lebih baik kita nikmati saja." kata Hwon seraya mempersilahkan Yeon Woo duduk.
Hwon mengulurkan tangannya dan disambut oleh Yeon Woo dengan malu-malu.
Hwon dan Yeon Woo duduk.
"Ini pertunjukakn dadakan." bisik Hwon. "Tolong kelihatan senang saja ya walau pertunjukkannya jelek."
Yeon Woo tersenyum.
Kasim Hyeon Sun memperagakan pertunjukkan boneka.
Hwon senang melihat Yeon Woo tertawa.
Di sisi lain, Ibu Suri memerintahkan Nok Young untuk melenyapkan Yeon Woo.
"Tidak mungkin membunuh atau meracuninya." ujar Ibu Suri. "Hanya kau yang bisa mencelakainya dari jarak jauh."
Nok
Young terkejut. "Tugasku adalah berdoa untuk kesejahteraan anggota
keluarga." katanya. "Sekarang ia sudah menjadi bagian keluarga
kerajaan."
Karena Nok Young menolak, Ibu Suri mengancamnya. Jika Nok
Young tidak membunuh Yeon Woo, maka ia akan menghancurkan Balai Samawi.
"Gunakan sihir hitammu dan bunuh gadis itu, Heo Yeon Woo." paksa Ibu Suri.
"Orang
itu adalah aku, Ari." pikir Nok Young dalam hati, berdoa di Balai
Samawi. "Orang yang menyebabkan kematian anak itu adalah aku. Tolong
katakan padaku, Ari, apa yang harus kulakukan. Anak itu atau Balai
Samawi?"
Nok Young mendapatkan jawaban yang diinginkannya, yakni shaman.
"Walaupun
berada di dekat matahari akan menimbulkan bencana, tapi sudah menjadi
takdirnya untuk berada disisi matahari dan melindunginya." kata-kata
Ari terus ternging di telinga Nok Young.
"Jadi, apakah aku harus membunuh Putri Mahkota?" gumam Nok Young.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar